Semakin jauh dari masa
Rasulullah dan semakin luas daerah-daerah yang mengenal Islam, semakin
luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan
dalam hal yang positif bukan perkembangan yang keluar dari garis besar
tuntunan Islam. Misalnya, dahulu di zaman Rasulullah dan sahabatnya,
huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa menggunakan harokat dan tanda
titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan
huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada
huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa berikutnya ditambahkan
harokat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah
membacanya.
Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat
dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah
mereka, dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan
yang lebih mudah dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang
melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah seorang
imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama
aslinya yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama
Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu
Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab).
Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya,
Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya,
Nu’man, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran
kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula
mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang
shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang
diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap
menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil
mempelajari ilmu agama.
Memulai Belajar
Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga
telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama
terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh
orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin
Abdullah, dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh
tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di
antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan
sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian
banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh
perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama.
Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama
berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada
kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Seorang Ulama Berpengaruh
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan
cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia
mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan
membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari
Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu
Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid
Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga
melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau.
Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf,
Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah
metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan
membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan
menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau
tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh
otoritas Umayyah dan Abbasiah.
Wafatnya
Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam
Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan
jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang
yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai
oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam
seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab
beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan
India.
Peta penyebaran madzhab Imam yang empat.
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
Posting Komentar